Entah sudah hari ke berapa berdiam diri di dalam rumah demi kebaikan bersama. Membunuh waktu dengan melakukan banyak hal, meskipun terkadang rindu berkunjung ke rumah teman tetap tidak bisa dibendung.
“Kapan virus covid-19 ini akan musnah?”
Mungkin itu pertanyaan semua orang dan bukan hanya aku, karena setiap hari seluruh media memberitakan dengan sudut pandang yang berbeda-beda, tapi efek setelah menontonnya selalu sama : semakin dipikirkan, semakin membuat resah.
Hingga kemudian, aku teringat perkataan salah satu praktisi mindfulness, untuk menarik nafas sejenak berpijak pada detik ini. Hadir dengan penuh sadar pada situasi yang sedang ku hadapi, lalu mulai merenung.….
Mungkin hari ini, aku sedang diajak untuk lebih lebar lagi membuka mata untuk melihat bahwa ada banyak kebaikan yang selama ini tidak aku sadari.
Nikmat Allah bukan hanya dari seberapa banyak lembaran kertas di dalam dompet, bukan seberapa panjang digit angka di dalam rekening, bukan seberapa tinggi jabatan, bukan seberapa sering aku menghabiskan waktu dan terlihat sibuk.
Bahwa ketika aku dapat membuka mata kembali pagi ini dengan iman yang masih ada di dalam hati, ternyata benar-benar perkara besar yang tidak sederhana.
Kini, aku tidak perlu panik lagi ketika melihat jam di pagi hari dan merasa khawatir akan janjian bertemu relasi tepat waktu atau tidak. Sehingga kesempatan untuk memandang orang tercinta yang duduk di meja makan bersamaku, bisa jauh lebih lama.
Pelan-pelan aku bisa terkoneksi ke dalam diri untuk menanyakan kabarnya hari ini. Sosok yang selama ini sering ku abaikan dan menomorduakan kepentingannya demi memikirkan orang lain. Padahal tanpa dia, tentu tidak ada aku.
Aku juga jadi lebih banyak memperhatikan keadaan jalan menuju pintu surga yang paling tengah, yaitu orang tuaku. Kabar beliau rasanya begitu penting, lebih penting dari yang lainnya.
Hati yang semula keras dan hanya menuruti ego sendiri perlahan melunak, bersedia tabayyun dan mau mendengarkan orang lain untuk menyeimbangkan semua informasi yang masuk ke dalam panca indera.
Lalu muncul kejutan-kejutan yang menyenangkan, ternyata aku bisa masak, bisa membereskan rumah dan melakukan hal-hal kecil yang dulunya sering luput apabila diri sudah tenggelam dalam rutinitas.
Tidak sadar, keberadaanku #dirumahaja sebenarnya sebuah langkah besar dan luar biasa : memberi waktu sang bumi untuk beristirahat dan menyembuhkan diri.
Masa pandemi ini mengandung banyak pelajaran, termasuk mengingatkan lagi fitrahku sebagai seorang muslimah yaitu menjaga kebersihan.
Data UNICEF menunjukkan bahwa setiap tahunnya ada sekitar 150.000 anak Indonesia meninggal dunia akibat sanitasi yang buruk. Dan fakta menunjukkan bahwa covid-19 juga dapat menular melalui feses. Oleh sebab itu, aku harus bersyukur karena aku cukup beruntung hidup di lingkungan yang bersih. Dan saat ini juga sangat mudah menemukan spot cuci tangan beserta sabun dimana-mana, termasuk di tempat umum, toko, bahkan di depan rumah-rumah penduduk.
Menurut yang pernah aku baca, mencuci tangan pakai sabun juga bisa menurunkan risiko diare hingga 45% dan bila diimbangi dengan kebersihan lingkungan, bisa menurunkan risiko penyebaran penyakit menular hingga 90% .
Masya Allah….
Kampanye cuci tangan mulai digaungkan kembali, program yang sebenarnya sudah diadakan setiap tahun pada hari cuci tangan sedunia. Namun, sepertinya kali ini lebih sering dan dengan cara-cara yang lebih kreatif.
Lalu ramadan datang dan sedikit menghembuskan hawa sejuk ke relung hati.
Memberi aku kesempatan melakukan evaluasi tentang apa yang sudah kita lakukan selama ini.
Mengajakku membuka kembali pesan cinta Allah di dalam Al-Qur’an dengan pahala yang dilipatgandakan.
Memperbaiki lagi komunikasiku dengan Sang Pencipta dengan sholat lebih khusyu’ dan doa yang sungguh-sungguh.
Memperhalus nuraniku dengan membantu sesama meskipun hanya sebatas yang aku bisa.
Memanfaatkan apa yang sudah ku beli dan tertumpuk sekian lama di dalam lemari.
Terbatasnya ruang gerak dan minimnya kesempatan untuk bertemu dengan orang lain,
Mengajarkaku bahwa hanya Allah saja yang sebenarnya tidak pernah meninggalkan.
Mungkin dahulu, setiap ramadan tiba, aku dan banyak orang begitu sibuk dengan takjil, buka puasa bersama hingga terkadang absen sholat tarawih yang pahalanya sama dengan sholat semalam penuh.
Mengabaikan Al-Qur’an karena berpikir masih ada hari esok untuk memulai, bahkan rela berdesak-desakan untuk berbelanja keperluan lebaran.
Dan tahun ini semuanya berubah.
Seolah-olah Allah dengan penuh kasih hendak mengajarkan “Sudah, jangan lagi mengulang kesalahan yang sama, di bulan suci ini, segeralah kembali kepada-Ku. Karena sesungguhnya yang akan membuatmu mulia di hadapan-Ku bukan itu, wahai hamba-Ku.”
Semoga kita semua bisa berbenah dari apa yang kita alami saat ini, sehingga banyak perubahan yang membuat kualitas hidup kita menjadi lebih baik lagi ke depan.
*******
Tulisan ini diikutsertakan dalam Blog Competition “Ceritaku Dari Rumah” yang dielenggarakan oleh Ramadan Virtual Festival dari Dompet Duafa Sulawesi Selatan.


Nice sister
BalasHapusAamiin .. :))
BalasHapus